Wednesday, December 21, 2011

Sejarah dan Budaya Rokok Nusantara, Lestari atau Mati?


Berbicara soal sejarah rokok, ada beberapa artikel yang menyebutkan bahwa merokok pertama kali dilakukan oleh orang Indian penduduk asli Amerika. Suku Indian melakukan hal tersebut karena adanya kaitan dengan pemujaan dewa/roh. Budaya ini kemudian ditirukan oleh orang eropa yang pada saat itu melakukan ekspedisi ke benua Amerika. Dalam ekspedisinya, mereka menemukan penduduk pribumi – Indian mengisap tembakau yang digulung seperti cerutu.

Para petualang Eropa ini kemudian menirukan budaya ini dan menganggapnya sebagai lifestyle baru. Budaya ini kemudian menular diantara para penduduk Eropa, mereka menganggapnya Sejak saat itulah, bersamaan dengan penjajahan yang dilakukan oleh bangsa-bangsa eropa ke seluruh dunia, rokok pun ikut tersebar ke seluruh dunia melalui mereka.

Jika artikel tersebut terbukti kebenarannya, bisa disimpulkan bahwa masa dimana budaya rokok ini pertama kali ditemukan jauh terjadi setelah masa hidup Nabi Muhammad SAW. Karenanya tidaklah mengherankan bilamana didalam haditsnya Nabi tidak pernah meriwayatkan hukum soal rokok ini secara jelas dan hanya tersirat dari hadits-haditsnya yang bersifat umum.

Sementara itu, di nusantara sejarah rokok yang paling tua konon kabarnya ditemukan di Kudus dalam bentuk rokok kretek. Penemunya adalah Haji Djamhari pada kurun waktu sekitar 1870-1880-an. Konon, pada waktu itu Djamhari merasa sakit pada bagian dada karena menderita penyakit asma. Ia lalu mengoleskan minyak cengkeh pada bagian tubuhnya yang sakit. Ternyata sakitnya pun reda.

Berdasarkan pengalaman tersebut, Djamari pun lantas bereksperimen dengan memotong-motong cengkeh kecil-kecil (merajang) dan mencampurnya dengan rajangan tembakau untuk kemudian dilinting menjadi rokok. Dari bunyi rokok yang 'kemeretek' pada waktu diisap tersebut kemudian lahirlah nama 'rokok kretek'.

Sayangnya, Djamhari keburu wafat sebelum dapat meraup kekayaan dari rokok kretek. Temuan Djamhari ini yang menyebar dari mulut ke mulut ini kemudian diteruskan oleh salah seorang warga Kudus lain, yaitu Nitisemito. Ia menjadikan rokok sebagai industri rumahan untuk diproduksi massal pertama kalinya di Indonesia. Pada tahun 1908 perusahaan Nitisemito mendapat ijin dari Pemerintah Hindia Belanda dengan merk Bal tiga. Setahun kemudian Nitisemito mulai membuat rokok kretek dan di tahun inilah sebenarnya rokok kretek tumbuh menjadi industri, meski masih berupa home industri yang dikerjakan Nitisemito dan keluarganya.

Maka untuk pertama kalinya pada waktu itu, rokok kretek temuan Djamhari dijual tanpa bungkus dengan harga sekitar 2,5 sen seikat (25 batang ukuran kecil) dan 3 sen seikat untuk 25 batang ukuran besar. Kesuksesan Nitisemito kemudian banyak ditiru orang, sehingga antara tahun 1915 -1918 bermunculan ratusan pabrik rokok kretek baru tidak hanya di Kudus tetapi juga di Semarang, Surabaya, Blitar, Kediri dan Malang. Sehingga tidaklah berlebihan bila rokok kretek penciptanya adalah orang Indonesia.

Dalam kehidupan sehari-hari, diakui atau tidak, bagi sebagian masyarakat keberadaan rokok sangat vital. Mereka tidak menganggap rokok sebagai candu, tapi sebuah lifestyle yang melekat dalam interaksi dalam komunitas. Rokok merupakan teman setia yang menemani mereka di warung kopi, begadang dan sarana mencari teman. Dari sebatang rokok yang ditawarkan tidaklah sulit untuk mendapatkan teman baru bagi mereka. Karenanya fungsi rokok disini juga sebagai media komunikasi. Aneh? Tentu tidak, inilah realita yang ada.

Namun, kesenangan menikmati rokok sepertinya tidak akan bertahan lama. Pasalnya, saat ini Majelis Ulama Indonesia (MUI) berencana untuk menggodok fatwa haram terhadap rokok. Sinyalemen ini terlihat pada saat dialog yang digelar di salah satu televisi swasta tanah air yang mana waktu itu KH Ma'ruf Amin mengatakan bila soal fatwa haram ini bakal dibahas Januari mendatang pada sidang Ijtima' MUI di Padang, Sumatera Barat.

Merokok memang bukan termasuk habbit yang bagus, akan tetapi melarangnya sampai ketingkat haram bukanlah solusi terbaik, bahkan lebih cenderung A Historis. Pemerintah dan alim ulama hendaknya bijaksana menyikapi persoalan ini. Sebab, selain nilai histories dibalik lahirnya rokok di Indonesia, ribuan bahkan mungkin jutaan orang menggantungkan hidupnya dari rokok. Mulai dari para pekerja rokok, petani tembakau, distrubutor, agen, toko bahkan hingga para penjual rokok di pinggir jalan dan lampu lalu lintas, menggantungkan nasibnya dari berjualan rokok.

Saya setuju rokok memang tidak menyehatkan, tapi saya tidak setuju bila rokok diharamkan. Apalagi secara budaya, merokok sudah menjadi bagian dari masyarakat. Tidak usahlah terlalu ektrem , cukup hanya diatur, bagaimana agar bisa menikmati rokok tanpa merugikan orang lain.


sumber:http://www.kabarindonesia.com


About

Always read, and you can found something in this world
Designed By Seo